Ketika Air Menggantikan Bom: Potret Kerusakan yang Tak Terlihat di Aceh dan Sumatera



Oleh : wl

Tidak selalu diperlukan perang, barisan tank, atau bom pemusnah massal untuk menghancurkan sebuah negara. Kadang cukup merusak ekosistemnya: menebang hutan tanpa kendali, menutup daerah resapan, membiarkan sungai-sungai kehilangan arah. Maka selebihnya, waktu yang bekerja. Dan ketika bencana datang, rakyat kecil menjadi korban pertama dan paling lama pulih.

Fenomena banjir besar yang kembali melanda sebagian wilayah Sumatera dan Aceh menjadi pengingat keras bahwa kerusakan lingkungan bukan lagi persoalan ekologis belaka, melainkan ancaman terhadap keberlanjutan negara. Di banyak titik, banjir merendam rumah-rumah sederhana, melumpuhkan akses jalan, merusak sawah yang belum sempat dipanen, dan memaksa ribuan warga meninggalkan satu-satunya aset yang mereka miliki yakni tempat tinggal.



Banjir Sebagai Senjata yang Tak Dideklarasikan

Kerusakan yang dihasilkan bencana ekologis kerap dibandingkan dengan kehancuran akibat perang. Secara fisik, tentu skala keduanya berbeda, namun daya rusaknya terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat bisa terasa sama menyesakkannya. Ketika air mengalir deras membawa lumpur, kayu, dan puing, yang hilang bukan hanya harta benda, melainkan juga masa depan, pendidikan anak-anak terhenti, usaha mikro tersendat, dan kesehatan publik menurun drastis.

Dalam perspektif geopolitik, ada sebuah ironi: untuk melumpuhkan kestabilan suatu negara, cukup biarkan kerusakannya berlangsung diam-diam. Banjir di Sumatera dan Aceh menunjukkan bagaimana degradasi lingkungan memiliki efek berantai yang mampu menekan kelompok ekonomi paling rentan hingga titik tak berdaya.



Lingkungan yang Rusak Adalah Krisis yang Sistemik

Para ahli lingkungan telah lama memperingatkan bahwa banjir besar bukanlah semata-mata “peristiwa alam”, melainkan peringatan keras dari ekosistem yang dipaksa melampaui batasnya. Deforestasi yang masif, pertambangan tak terkendali, dan konversi lahan tanpa perhitungan membuat daya tampung alam runtuh sedikit demi sedikit.

Ketika hutan hilang, hilang pula “perisai” yang selama ini menahan air, menyaring polusi, dan menstabilkan tanah. Akibatnya dapat dirasakan hingga ke desa-desa terpencil: air bah menyapu ladang, rumah hanyut, dan mata pencaharian pun hilang dalam semalam.


Mereka yang Miskin Menanggung Beban Terberat

Krisis lingkungan selalu memiliki satu pola yang berulang: yang paling miskin adalah yang paling terpukul. Rumah mereka biasanya berada di bantaran sungai atau tanah marginal, jauh dari infrastruktur yang dapat menahan bencana. Setelah banjir berlalu, mereka pula yang paling sulit bangkit, tanpa tabungan, tanpa akses pinjaman, tanpa perlindungan sosial yang memadai.

Di titik inilah bencana ekologis terasa seperti “serangan diam-diam” ia memukul yang paling lemah, perlahan namun dalam.



Saatnya Menghadapi Kenyataan

Kita boleh menyalahkan cuaca ekstrem, namun data dan pengalaman lapangan menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan adalah akar masalah yang tak bisa lagi diabaikan. Banjir di Sumatera dan Aceh bukan hanya tragedi tahunan,ia adalah cermin dari sistem pengelolaan alam yang rapuh.

Jika dibiarkan, kerugian sosial, ekonomi, dan ekologisnya dapat menggerogoti ketahanan nasional secara perlahan. Sebuah negara tidak hancur dalam sehari; kadang ia retak dari dalam, dimulai dari hutan yang hilang dan sungai yang berubah jalur.


Penutup

Banjir Sumatera adalah panggilan untuk kembali pada akal sehat berbasis keberlanjutan. Ia mengingatkan bahwa membangun negara tidak cukup dengan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga fondasi ekologisnya. Sebab ketika alam tidak lagi mampu menahan tekanan, dampak yang muncul dapat melampaui imajinasi kita—bukan dalam bentuk bom atau ledakan, tetapi dalam diamnya air yang datang menghancurkan.(wl)

Postingan Lama
Postingan Lebih Baru