Dua Dekade Damai Aceh: Momen Refleksi, Nobar, dan Harapan Baru untuk Generasi Muda
Aradionews.id – Dua puluh tahun setelah suara tembakan berhenti dan pintu dialog dibuka, Aceh kini berdiri sebagai simbol damai yang diperjuangkan. Kamis malam (14/8), di BRC Samudra Lhokseumawe, kenangan itu kembali dihidupkan—bukan lewat orasi atau seminar, tetapi lewat layar lebar dan refleksi bersama generasi muda.
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Aceh (DPP PWA), bekerja sama dengan Metro Aceh Basket Club (MABC) dan BRC Samudra, menggelar nonton bareng (nobar) film dokumenter “Bagaimana Kami Mengakhiri Perang 30 Tahun di Aceh: Pembawa Perdamaian”, produksi CNA Insider. Acara ini tak sekadar tontonan, tapi menjadi ruang dialog antargenerasi untuk memahami luka masa lalu dan menjaga harapan ke depan.
Ketika Damai Menjadi Warisan, Bukan Sekadar Sejarah
Di tengah hangatnya suasana malam, puluhan peserta hadir. Mayoritas adalah anak-anak muda—atlet basket dari PERBASI Aceh Utara, pelatih, jurnalis, serta tokoh-tokoh masyarakat. Mereka menyimak dengan sunyi, sesekali terpaku saat cuplikan konflik diputar.
“Tanggal 15 Agustus 2025 menandai dua dekade damai Aceh. Tapi damai itu tidak jatuh dari langit. Ia dibeli dengan air mata, dengan darah, dengan keberanian memilih jalan sulit: berdamai,” ujar Maimun Asnawi, Ketua Umum DPP PWA, dalam sambutannya.
Menurut Maimun, kegiatan ini adalah bentuk edukasi sekaligus pengingat—bahwa generasi yang tumbuh dalam kedamaian, punya tanggung jawab moral untuk menjaganya. “Kita tidak ingin sejarah kekerasan diulang. Peran generasi muda sangat krusial,” tambahnya.
Film, Memori, dan Keberanian Jurnalis
Selain film utama, penonton juga disuguhkan dokumenter pendek yang merekam perjuangan wartawan Aceh saat meliput konflik pada 2003. Gambar-gambar raw dan testimoni menyayat hati, menunjukkan risiko tinggi yang dihadapi para jurnalis di tengah peluru dan ketidakpastian.
“Profesi wartawan saat konflik bukan hanya tentang keberanian, tapi juga tentang kemanusiaan. Mereka adalah saksi sejarah yang membawa suara rakyat keluar dari gelapnya perang,” ungkap Maimun.
Tokoh-tokoh seperti Hendra Saputra (Ketua Harian PERBASI Aceh Utara), Armiadi (Ketua Umum MABC), hingga kalangan profesional dan pers turut hadir. Keterlibatan mereka memperkuat pesan bahwa perdamaian bukan urusan elite semata, tapi hasil kerja kolaboratif masyarakat sipil.
Desakan untuk Pemerintah Pusat: Tuntaskan MoU Helsinki
Dalam forum yang hangat tapi penuh makna itu, Maimun menyerukan kepada Pemerintah Pusat agar segera menyelesaikan implementasi seluruh butir dalam MoU Helsinki. “Sudah cukup Aceh dikenal lewat konflik atau kemiskinan. Kini saatnya Aceh dikenal karena perdamaian, kemajuan, dan daya saing,” tegasnya.
Acara diakhiri dengan diskusi santai antar peserta dan pengurus, sembari menyusun rencana kegiatan lanjutan yang lebih masif melibatkan komunitas muda dan media.